TORAJA–Satu demi satu tiang-tiang kayu tua yang menopang rumah Tongkonan tumbang ke tanah. Empat alang dan tiga rumah lain ikut menyusul. Tak ada upacara. Tak ada ritual pelepasan. Hanya garis polisi, deru mesin, dan tatapan kosong para warga yang menyaksikan.
Kamis, 3 Juli 2025, menjadi hari yang tak terlupakan bagi dua keluarga besar di Tana Toraja (Tongkonan Kaladun dan Tongkonan Batu).

Di atas tanah yang telah lama disengketakan di Lion, Makale Utara, berdiri sebuah rumah adat yang kini tak lagi berpijak pada pijakan hukumnya. Eksekusi itu bukan hanya tentang tanah. Tapi bicara tentang warisan, akar sejarah, dan identitas orang Toraja.
PERTARUNGAN DUA TONGKONAN
Sengketa bermula dari klaim hak atas tanah adat. Pihak Tongkonan Batu meyakini lahan di Lion adalah milik mereka, dan mendirikan bangunan Tongkonan serta beberapa lumbung. Namun pihak Tongkonan Kaladun menolak, membawa perkara ini ke ranah hukum.
Proses panjang itu melewati berbagai tingkat pengadilan hingga ke Mahkamah Agung. Putusan akhir berpihak kepada Tongkonan Kaladun. Tanah tersebut dinyatakan sah milik mereka.
Putusan itulah yang menjadi dasar eksekusi. Puluhan personel TNI dan Polri disiagakan untuk memastikan proses berlangsung tanpa kericuhan. Dan benar saja, walau berlangsung tegang, eksekusi berjalan tanpa perlawanan terbuka.
SIMBOL YANG TERSINGKAP
Di tengah sisa-sisa puing dan tanah yang terguncang, dua batu Simbuang ditemukan. Batu sakral ini menjadi simbol sahnya kepemilikan tanah adat dalam struktur ke-Torajaan.
Temuan itu seolah menjadi penutup sunyi bagi konflik panjang ini, pembenaran spiritual atas keputusan hukum yang telah diketok palu.
Di akhir eksekusi, papan bertuliskan “Tanah Ini Milik Tongkonan Kaladun” ditancapkan di lahan itu, menjadi penanda baru atas hak lama yang dipulihkan.
LEBIH DARI SEKEDAR BANGUNAN
Bagi masyarakat Toraja, Tongkonan bukan sekadar rumah. Ia adalah lambang garis keturunan, pusat spiritual, tempat pertemuan leluhur dan anak cucu.
Namun, robohnya Tongkonan bukan sekadar soal legalitas, tapi luka bagi memori kolektif sebuah keluarga.
Warga yang menyaksikan hanya bisa menggeleng pelan, sebagian memotret diam-diam, sebagian lainnya menunduk dalam keheningan. Tidak semua konflik adat bisa diselesaikan di ruang sidang. Tapi hari itu, hukum telah berbicara.
Dan Toraja dengan segala sakralitas dan sejarahnya kembali mencatat satu bab baru tentang tanah, tongkonan, dan peradaban yang terus bergulir di antara adat dan negara.*
tompaseru