TORAJA–Udara sejuk Makale Utara terasa lebih semarak pada pagi Selasa, 1 Juli 2025. Di antara deretan pohon bambu dan tebing kapur yang berdiri gagah, suara obrolan dengan aksen asing terdengar memecah kesunyian.
Sebanyak 182 wisatawan mancanegara melangkahkan kaki mereka di tanah yang bagi masyarakat Toraja adalah tempat sakral bernama Lemo, situs penguburan batu leluhur.

Para wisatawan ini datang dari berbagai penjuru dunia, Inggris, Belanda, Prancis, Jepang, Polandia hingga Jerman.
Mereka terbagi dalam tiga rombongan besar yang difasilitasi oleh kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Tana Toraja dan PT Pacebo Tours, sebuah agen perjalanan yang selama ini fokus pada wisata budaya di kawasan Indonesia Timur.
Mengenakan topi pelindung matahari, kamera tergantung di leher, dan brosur informasi wisata di tangan, para tamu asing itu tampak serius menyimak penjelasan pemandu wisata lokal tentang tau-tau, patung kayu miniatur manusia yang dianggap sebagai perwujudan arwah leluhur di Toraja.
Di hadapan mereka, tebing batu Lemo menampilkan wajahnya yang penuh ukiran liang kubur. Tiap bukaan batu menyimpan sejarah panjang tentang kehidupan dan kematian, tentang perjalanan jiwa dalam tradisi Toraja yang kaya makna. Para wisatawan memotret, mencatat, dan sebagian hanya diam takjub oleh keheningan yang sakral.
Kedatangan rombongan besar ini disambut langsung oleh Wakil Bupati Tana Toraja, Erianto Laso’ Paundanan. Ia berdiri di pelataran Lemo, didampingi sejumlah pejabat daerah.
“Kami sangat bersyukur atas kunjungan ini. Ini menjadi bukti nyata bahwa Toraja bukan sekadar destinasi, tapi juga bagian dari peta budaya dunia,” ujar Erianto dalam sambutannya, disambut tepuk tangan para tamu.
Erianto menyebut bahwa kehadiran wisatawan asing dalam jumlah besar merupakan hasil dari kerja keras banyak pihak, dari pemkab, pelaku usaha, hingga masyarakat yang merawat situs budaya dengan sepenuh hati.
Namun yang paling penting, katanya, adalah dampak langsung yang dirasakan masyarakat lokal, terutama pelaku UMKM dan pemandu wisata.
“Kedatangan para wisatawan hari ini adalah harapan. Harapan bahwa ekonomi rakyat bisa tumbuh bersama dengan budaya yang tetap lestari,” tambahnya.
-Kami Belajar, Bukan Sekadar Melihat-
Di tengah rombongan, seorang wisatawan asal Prancis bernama Charlotte, 45 tahun, mengatakan bahwa kunjungannya ke Tana Toraja adalah ‘mimpi yang menjadi nyata’.
Ia sudah lama tertarik dengan antropologi budaya dan menyebut Toraja sebagai “salah satu peradaban paling spiritual yang masih hidup di Asia Tenggara.”
“Saya tidak datang hanya untuk mengambil gambar. Saya datang untuk belajar. Tradisi penguburan di sini mengajarkan saya tentang cara lain melihat hidup dan kematian,” tuturnya.
-Awal dari Perjalanan Budaya-
Pemerintah daerah berharap gelombang wisatawan seperti ini akan terus datang. Tak hanya sebagai kunjungan sesaat, tetapi sebagai jembatan antarbudaya, yang menyatukan dunia melalui penghormatan terhadap warisan nenek moyang.
Di hari itu, 182 langkah dari dunia luar menginjak Tana Toraja. Tapi di hati masyarakat, itu lebih dari sekadar kunjungan. Itu adalah pengakuan bahwa budaya yang diwariskan turun-temurun di lembah dan pegunungan ini adalah harta dunia yang tak ternilai.
tompaseru